Journaling as a Tool for Overflowing Feelings
Konsep kebahagiaan dan kesejahteraan kini dimaknai dengan semakin dalam untuk generasi yang paham pentingnya self-care di masa yang cukup menuntut diri kita di lintas area kehidupan. Kesejahteraan dan kebahagiaan, atau lebih ramah kita kenal sebagai welfare dan wellbeing, adalah istilah yang sering digunakan secara tumpang tindih di banyak media, terutama setelah komunitas global mulai “bersuara” tentang kebutuhan interpretasi wellbeing dari dunia sains ke dalam landscape keseharian kita.
Kita tidak bisa menolak fakta bahwa praktik kedokteran dan psikologi memang standar emas dalam konteks mengatasi masalah kesehatan mental manusia. Tapi, kalau kita bahas konteks perjuangan untuk menunaikan kesejahteraan diri, ada satu instrumen sederhana, tapi cukup kuat untuk menyangga pikiran kita, dan sering kita lupa untuk manfaatkan, yaitu menulis dengan menggunakan jurnal sebagai wadah luapan rasa. Toh juga, alat-alat terkuat untuk bisa mengurai pikiran kita itu justru balik ke pena dan kertas yang rendah hati. Afterall, some of the most powerful tools to demystify the mind root back to the humble pen and paper.
Kalau kita bahas konteks perjuangan untuk menunaikan kesejahteraan diri, ada satu instrumen sederhana, tapi cukup kuat untuk menyangga pikiran kita, dan sering kita lupa untuk manfaatkan, yaitu menulis dengan menggunakan jurnal sebagai wadah luapan rasa.
Menulis dalam jurnal sebenarnya tradisi kuno yang punya akar sejarah dari abad ke-10 Jepang. Sejumlah penulis tersohor seperti Oscar Wilde dan peneliti-peneliti modern pun sangat menekankan manfaat journaling atau reflective writing dalam praktik sehari-hari kita. Pikiran itu bisa kita anggap sebagai aset diri yang perlu dipilah-pilah isinya, karena daya tampungnya yang terbatas. We often forget that our minds can only handle so much. Dengan kita sadar akan ini, turbulens atau gejolak perasaan yang kita alami dari hari ke hari, dari skala kecil hingga besar, dari pernikahan sampai kehilangan pekerjaan, semua merupakan rangkaian kejadian yang akhirnya membentuk bagian diri kita. Karena itulah, menulis bisa bantu kita memilah fokus, menyusun, dan merapihkan pengalaman-pengalaman ini – “merapikan pikiran” terdengar sederhana, tapi ini adalah satu hal yang rasanya jiwa raga kita tidak sanggup lakukan ketika sedang dalam penuh tekanan. Intinya, menulis itu salah satu tujuannya untuk merefleksikan diri, dan mencari pengartian yang lebih dalam. To write is to reflect, and to gain insight.
“Merapikan pikiran” terdengar sederhana, tapi ini adalah satu hal yang rasanya jiwa raga kita tidak sanggup lakukan ketika sedang dalam penuh tekanan
Selayaknya masalah kesejahteraan pada umumnya, isu wellbeing itu perlu data. Manfaat menulis, journaling, menyimpan buku harian atau diary, hanya bisa dijustifikasi dari studi-studi yang memang memiliki metodologi ilmiah yang kuat. Coba kita telaah satu contoh sederhana dulu: temuan dari Cook et al. (2020) yang bisa membuktikan kalau menulis dalam jurnal itu pada dasarnya mendokumentasikan proses kejadian yang hasilnya ada di pikiran kita (atau, kejadian berbuah pikiran). Dengan kita ibaratnya melihat kembali pikiran kita seiring waktu, kita akhirnya bisa membandingkan dan memperbaiki cara kita bersikap serta berpikir jika kejadian yang sama di masa depan terulang. Selain itu, menulis juga bisa membantu kita mengumpulkan informasi tentang diri kita sendiri. Harapannya, dengan semakin kita mengenal diri, semakin baik kita menilai apa yang kita sudah miliki, apa yang kita butuhkan, dan apa yang perlu kita lakukan. Hakikatnya sebagai langkah awal untuk realisasi kesejahteraan diri yang akhirnya punya dampak baik ke kesejahteraan orang-orang di sekitar kita juga.
Menulis bisa membantu kita mengumpulkan informasi tentang diri kita sendiri. Harapannya, dengan semakin kita mengenal diri, semakin baik kita menilai apa yang kita sudah miliki apa yang kita butuhkan, dan apa yang perlu kita lakukan.
Sebagai tambahan, kita pun juga bisa mencegah pikiran kita berlari liar dengan praktik journaling. Menulis bisa membantu kita menuangkan pikiran dalam bentuk rangkaian kata, agar dapat diproses secara non-emosional, analitis, dan menjadikannya narasi hidup yang menggambarkan diri kita secara lebih holistik. Misalnya, sewaktu kita mengenang kematian orang tercinta, tulisan bisa membantu menggambarkan sosok yang dikenang tersebut, memori terbaik yang diingat, hingga duka yang perlu di-nurture. Sehingga, pada akhirnya bisa membantu kita mencerna pahitnya rasa kehilangan dan pada akhirnya memulai proses pemulihan dan moving on.
Mencapai titik ‘sejahtera’ bisa dimulai dengan langkah sederhana. Bagi kita yang ingin mencapai tujuan akhir yaitu rasa wellbeing yang tinggi, kita akan lihat bahwa masalah dalam diri itu bisa diperhatikan, dikerucutkan, dan diatasi, dengan pijakan pertama yaitu merenung, lalu menulis untuk merangkai rasa. Berkawanlah dengan secarik kertas dan pena.
Mencapai titik ‘sejahtera’ bisa dimulai dengan langkah sederhana. Berkawanlah dengan secarik kertas dan pena.
Referensi:
Bodeker, G., Pecorelli, S. Choy, L., Guerra, R., & Kariippanon, K. (2020). Well-being and mental wellness. Oxford Research Encyclopedia, Global Public Health. DOI: 10.1093/acrefore/9780190632366.013.162
Cook, J.M., Simiola, V., McCarthy, E., Ellis, A. & Stirman, S.W. (2018). Use of reflective journaling to understand decision making regarding two evidence-based psychotherapies for PTSD: Practice Implications Practice innovations (Washington, D.C.), 3(3), 153–167. https://doi.org/10.1037/pri0000070
Read the original article here